Mengambil Keputusan Strategis Dengan Pola Perilaku Biaya
Jika anda bekerja di suatu perusahaan, staf
ataupun management, terlebih-lebih akuntan atau pegawai accounting, kiranya
pembahasan ini bermanfaat, setidak-tidaknya bisa menambah wawasan.
Khusus untuk yang menjalankan usaha atau
berkeinginan untuk melangkah ke arah itu, pengetahuan ini bersifat fundamental
dan kritikal, dalam artian: anda wajib tahu. Kecuali super kaya (tak akan
bangkrut meskipun rugi bertahun-tahun), saya tidak bisa bayangkan bagaimana
seorang usahawan bisa bertahan di dunia bisnis tanpa pengetahuan dasar ini.
Beberapa keputusan strategis yang
erat kaitannya dengan pola perilaki biaya, antara lain:
- Berproduksi sendiri atau membeli barang jadi
- Membuat special product atau tidak
- Kecepatan atau kualitas
- Alih Daya (outsourcing)
Nyaris semua perusahaan—sejak berdiri hingga
jalan bertahun-tahun—pernah dihadapkan pada pilihan-pilihan seperti ini. Setiap
kuputusan yang diambil, diantara pilihan yang ada, akan mempengaruhi laba dalam
jangka pendek dan kelangsungan-hidup perusahaan dalam jangka panjang. Itu
sebabnya keputusan-keputusan model ini disebut “keputusan strategis”.
Keputusan-keputusan strategis di atas bisa
diambil dengan menggunakan pola perilaku biaya sabagai bahan pertimbangan,
disamping faktor-faktor lain. Di tulisan ini saya akan bahas
keputusan-keputusan tersebut beserta alternatifnya.
Sebelum masuk ke topik utama, ada baiknya jika
kita bicara mengenai konsep dasar pengambilan keputusan
strategis, terlebih dahulu.
Sedikit Mengenai Pengambilan Keputusan Strategis
Premise dasar yang perlu disadari, dalam
setiap pengambilan keputusan, yaitu: TIDAK ADA PUTUSAN YANG SEMPURNA. Dalam
pengertian: tidak ada putusan yang absolute bagus atau absolute buruk. Yang ada
adalah KEPUTUSAN TEPAT pada situsi yang spesifik.
Mengapa demikian?
Karena setiap pilihan yang tersedia selalu
mengandung sisi positive sekaligus sisi negative, ada pros-cons, ada peluang
sekaligus risiko—bahkan untuk keputusan yang dibackup oleh data yang sifatnya
statistis dan matematis sekalipun.
Sehingga pilihan manapun yang diambil selalu
berarti:
- mengambil suatu peluang sekaligus melewatkan peluang yang lain;
dan
- terekspose suatu risiko sekaligus terhindar risiko yang lain.
Nah, ensensi dari setiap pengambilan
keputusan yang TEPAT (bukan sempurna) adalah: mencari titik trade-off yang
paling optimum, antara sisi positive-negative, pros-cons, peluang-risiko, yang
ada.
Untuk mencari titik trade-off optimum, pengambil keputusan harus mampu mengukur kemampuan diri/perusahaan
sendiri untuk kemudian dibandingkan dengan setiap peluang dan risiko yang ada.
Dalam tulisan ini, saya tidak bisa mengatakan
“A lebih baik dibandingkan B” atau sebaliknya—tergantung kondisi masing-masing
yang pastinya berbeda antara seorang pengusaha dengan pengusaha lain atau
antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain.
Disamping mencari titik trade-off yang
paling optimum, seorang pengambil keputusan yang
handal juga mampu mencari alternative lain.
Kita mulai dengan yang pertama..
Berproduksi Sendiri atau Membeli Barang Jadi
‘Berproduksi sendiri-atau-membeli barang jadi’
tergolog keputusan strategis bagi perusahaan, terutama perusahaan manufaktur
dan dagang—berpengaruh terhadap laba dalam jangka pendek dan kelangsungan-hidup
perusahaan dalam jangka panjang.
Keputusan ini dibutuhkan di 2 fase yang
berbeda, dalam perjalanan sebuah usaha:
- Sebelum memulai usaha – Setelah
mempelajari potensi pasar, saatnya untuk mengambil keputusan strategis,
yaitu: barang jadi yang akan dijual, apakah sebaiknya diproduksi atau
dibeli?
- Saat usaha sudah berjalan – Setelah
usaha berjalan, pasar akan mengalami perubahan dari waktu-ke-waktu,
sehingga permintaan produk juga akan berubah (baik dalam volume, model,
spesifikasi dan bahan bakunya). Setiap kali terjadi perubahan, perusahaan
perlu mengambil keputusan antara berproduksi sendiri atau membeli barang
jadi.
Untuk memutuskan antara berproduksi sendiri
atau membeli barang jadi, ada 2 faktor penting yang harus dipertimbangkan:
1. Kemampuan Memproduksi (ability to produce)– Apakah tahu caranya berproduksi?
Apakah menguasai teknologinya? Apakah memiliki modal yang cukup untuk
menghadirkan fasilitas (tanah, bangunan pabrik, mesin dan peralatan) sekaligus
modal kerja yang diperlukan?
2. Beban dan Biaya (costs & expenses) – Hasil riset pasar sudah di tangan,
artinya proyeksi penjualan (revenue) sudah ada. Untuk memproyeksikan laba, yang
diperlukan selanjutnya hanya estimasi beban dan biaya yang akan timbul.
Pertanyaannya: diantara kedua
faktor di atas, mana yang lebih penting?
Sekilas mungkin orang akan berpikir bahwa
faktor pertamalah yang paling penting (kemampuan memproduksi). Kenyataannya,
seorang pengusaha bisa merekrut ahli untuk dipekerjakan, membeli teknologi yang
dibutuhkan dan meminjam ke bank atau mencari partner bisnis untuk membiayai
pembelian/penyewaan fasilitas dan modal kerja yang diperlukan. Sepanjang
‘business-model’ yang dijalankan feasible, itu semua perkara mudah.
Jauh lebih penting adalah faktor yang kedua, yaitu: beban dan biaya yang akan timbul, antara
memproduksi atau membeli barang jadi. Pertimbangan beban dan biaya seperti apa
yang diperlukan di sini? Jawaban: POLA PERILAKU BIAYA.
Coba kita nilai masing-masing alternatif yang ada
dengan pendekatan pola perilaku biaya:
1. Berproduksi Sendiri – Jika berproduksi sendiri, maka:
- PROs: Bisa merancang model, menentukan
bahan baku, mutu dan harga product sesui dengan yang dikehendaki
(permintaan pasar). Dengan kata lain produk bisa dikendalikan sendiri
tanpa bergantung pada pihak lain.
- CONs: Nyaris semua jenis cost—mulai dari
variable cost, fixed cost, mixed cost hingga step cost—akan timbul dalam
perjalanan usaha. Artinya: begitu banyak macam pola perilaku biaya yang
harus dikelola selama menjalankan usaha. Semakin banyak perilaku biaya yang
harus dikelola semakin sulit mengendalikannya. Dan semua risiko
salah-kelola cost akan berada di pundak (dalam perusahaan) sendiri.
2. Membeli barang jadi – Jika membeli barang jadi, maka:
- PROs: Hanya perlu mengendalikan fixed
cost terkait dengan operasional perusahaan. Terhindar dari repotnya
mengelola variable cost, mixed cost dan step cost. Semakin sedikit jenis
pola perilaku biaya yang harus dikelola semakin mudah mengendalikannya.
Sehingga risiko salahkelola biaya menjadi lebih rendah.
- CONs: Supply terhadap product tidak bisa
dikendalikan sendiri, melainkan ditentukan oleh pihak lain (produsen).
Bukan pilihan yang mudah. Setiap keputusan strategis memang bukan keputusan yang mudah. Itu
sebabnya seorang pengambil keputusan mestilah orang yang mampu mencari titik
kompromi (trade-off) yang paling optimum dan mencari alternative lain.
Untuk titik trade-off yang optimum, tergantung
kondisi perusahaan masing-masing yang pastinya berbeda antara yang satu dengan
lainnya.
Alternative lain?
1. Rekayasa dan Sampling Sendiri, Produksi
di Luar – Rekayasa dan sampling sendiri bisa
mengurangi risiko supply product yang tidak sesuai dengan harapan. Competitive
atau tidaknya harga product banyak ditentukan oleh proses rekayasa, disamping
proses produksi massalnya.
Dengan merancang dan sampling sendiri, risiko
harga yang tidak competitive bisa dikurangi. Jika ingin mengurangi risiko salah
kelola cost pada proses produksi massal, bagian ini bisa di pindahkan ke
produsen. Perusahaan hanya merancang dan membuat contoh product, sedangkan
penyediaan bahan baku dan proses produksi massalnya dikerjakan oleh perusahaan
lain. Itu artinya:
- Ketersediaan supply product sebagian besarnya masih ditentukan
oleh pihak lain—bagaimanapun juga product yang akan di serahkan kepada
konsumen akhir adalah product hasil produksi missal (bukan samplenya).
Jumlah dan kualitas product masih tetap dikendalikan oleh pihak lain.
- Akan ada variable cost dan mixed cost yang harus dikelola terkait
dengan proses rekayasas dan sampling.
- Sebagian besar variable, mixed dan step cost (mulai dari
pengelolaan fasilitas gedung, mesin, peralatan produsksi dan tenaga kerja)
sudah dipindahkan ke pihak lain.
2. Maklon –
Mirip dengan alternative pertama, hanya saja bahan baku disediakan sendiri,
sedangkan proses produksi massal masih harus dikerjakan oleh pihak lain yang
sering disebut “sub-contractor”. Itu sebabnya mengapa maklon di
luar negeri sana disebut “Sub-contracting“. Artinya:
- Ketersediaan supply product lebih baik dibandingkan alternative
pertama karena bahan baku disediakan sendiri. Risiko ketidaksesuaian
kualitas juga berkurang, setidaknya dari aspek spesifikasi dan kualitas
bahan baku. Namun risiko ketidaksesuaian kualitas produk akhir masih
banyak dipengaruhi oleh proses produksi masal yang ada di pihak
sub-contractor, yang artinya tidak bisa dikendalikan sendiri.
- Porsi risiko salahkelola cost (variable, mixed dan step cost)
meningkat jika dibandingkan dengan alternative pertama, karena disamping
terkait dengan proses perancangan dan sampling, juga terkait dengan bahan
baku, termasuk harus menyediakan gudang yang artinya akan ada risiko
pengelolaan cost terkait dengan aktivitas gudang. Namun risiko salahkelola
cost terkait dengan proses produksi massal (termasuk fasilitas produksi
dan tenaga kerja) ada di pihak luar (sub-contractor).
3. Sebagian Berproduksi Sendiri, Sebagian
Di Luar – Tujuannya sama dengan
alternative-alternative sebelumnya yaitu: memindahkan sebagian risiko. Hanya
saja, pemindahan risiko tidak dilakukan dengan memecah siklus produksi akan
tetapi dengan memilih-milih product mana yang diproduksi sendiri dan mana yang
diproduksi oleh pihak lain. Ini bisa dilakukan dengan mempelajari varian
product yang diproduksi dan karakter perusahaan sendiri.
Membuat Special Product atau Tidak
Dalam perjalanannya, mungkin perusahaan
dihadapkan pada pilihan antara membuat produk khusus (special product)
atau tidak—entah berupa pesanan atau inisiatif sendiri.
Di satu sisinya, special product adalah
peluang. Keunikan/kekhasan special product membuat
perusahaan memiliki posisi khusus di pasar luas, sehingga persaingan menjadi
relative rendah. Efek paling nyata yang berpengaruh langsung terhadap laba,
dalam jangka pendek adalah harga yang tentu juga special jika dibandingkan
dengan produk biasa.
Di sisi lainnya, special product adalah
tantangan. Kekhususan produk memerlukan
mesin/peralatan khusus; dan tanaga kerja khusus. Risiko yang harus dihadapi
oleh perusahaan ketika memerlukan mesin/alat khusus dan tenaga kerja
khusus—untuk membuat special product—adalah: BIAYA TINGGI (high
cost)
- Harga Perolehan Tinggi (hight
acquisition cost) – Mendapatkan mesin/peralatan khusus tentu tidak
mudah, jikapun dapat maka harga perolehannya akan cenderung tinggi.
Demikian halnya dengan tenaga kerja khusus, juga tidak mudah didapat.
Jikapun dapat akan cenderung bergaji tinggi, dan sangat mungkin memerlukan
status pegawai tetap (mana ada orang yang memiliki skill khusus mau
bekerja sebagai pegawai harian/borongan dengan upah rendah, no chance)
- Biaya Penyusutan dan Pemeliharaan Tinggi (high
carrying cost) – Jika biaya perolehan mesin/alat tinggi, maka otomatis
biaya penyusutan juga tinggi. Lagipula, mesin/alat khusus biasanya
memerlukan treatment khusus yang sudah pasti menimbulkan biaya
pemeliharaan tinggi. Demikian halnya dengan biaya gaji yang harus ditanggung
setiap bulannya, juga akan tinggi.
Yang perlu disadari dalam hal ini adalah,
biaya penyusutan dan pemeliharaan mesin/alat khusus ini tergolong FIXED COST. Dan jika tenaga kerjanya berstatus pegawai tetap, maka biaya gaji pun tergolong
fixed cost. Artinya:
- Biaya penyusutan, pemeliharaan dan gaji—dalam jangka pendek—akan
bersifat konstan (tetap), terlepas dari berapa pun banyaknya
special product yang diproduksi.
- Semakin banyak output yang bisa dihasilkan dalam suatu periode
waktu tertentu (satu bulan atau satu tahun misalnya), semakin rendah biaya
penyusutan, pemeliharan dan tenaga kerja yang dibebankan ke unit product.
Sebaliknya, semakin sedikit output yang dihasilkan, semakin tinggi biaya
yang harus dibebankan.
Dengan demikian, maka pertimbangan paling
penting yang digunakan untuk mengambil keputusan antara membuat special product
atau tidak adalah:
- Apakah jumlah special product yang akan dibuat akan mampu memenuhi
kapasitas mesin/alat dan tenaga kerja khusus yang digunakan—sehingga mesin
dan tenaga kerjanya tidak akan pernah menganggur dan selalu berjalan dalam
kapasitas penuh?
- Apakah special product yang akan dibuat akan bersifat rutin dan
berkesinambungan dalam jangka panjang?
Jika jawabannya “IYA”, berarti layak untuk dilakukan. Jika jawabannya “TIDAK”,
maka pertimbangan selanjutnya adalah: apakah selisih harga jual khusus
(tinggi) dari special product yang akan dibuat akan mampu menutup high-carrying
cost yang akan ditimbulkan? Jika jawabannya “IYA” berarti masih layak
untuk dilakukan. Jika jawabannya “TIDAK” berarti perlu berpikir tentang
alternative lain.
Berikut adalah alternative yang bisa
dilakukan:
- Membuat/Memodifikasi Mesin atau Alat Sendiri – Mungkinkah perusahaan bisa membuat mesin/alat sendiri?
Atau memodifikasi mesin/alat yang telah ada? Jika IYA, bandingkan antara
membeli mesin/alat dengan membuat/modifikasi sendiri—mana yang jatuhnya
lebih murah?
- Melatih Pegawai Yang Telah Ada –
Mungkinkah pegawai perusahaan yang telah ada bisa dilatih untuk
mengerjakan special product yang akan buat? Jika IYA, maka lebih baik
menggunakan pegawai yang telah ada, karena ketika kapasitas tidak terisi
penuh masih bisa dipekerjakan untuk product-product yang non-special.
Kecepatan atau Kualitas
Di wilayah bisnis, pengusaha sering dihadapkan
antara “kecepatan” (speed) dan “kualitas” (quality).
Para pebisnis dituntut untuk pintar-pintar mencari titik trade-off paling
optimum antara kecepatan dan kualitas.
Kecepatan penting karena sebagian biaya yang
timbul dalam operasional sebuah perusahaan tergolong fixed cost—besarnya biaya
bersifat tetap (konstan) terlepas dari berapapun product/jasa yang dihasilkan.
Misalnya:
Gaji pegawai tetap perusahaan untuk bulan
Januari 2013 sebesar Rp 50,000,000 dengan jumlah product yang dihasilkan
sebanyak 5000 unit. Besarnya gaji pegawai tetap ini akan tetap Rp 50,000,000
meskipun di bulan Februari 2013 perusahaan menghasilkan 3000 unit produk dan di
bulan Maret 2013 menghasilkan 6000 unit.
Akan tetapi besarnya biaya gaji per unit
menjadi berbeda:
Januari 2013 = Rp 50,000,000/5000 = Rp
10,000/unit
Februari 2013 = Rp 50,000,000/3000 = Rp 16,667/unit
Maret 2013 = Rp 50,000,000/6000 = Rp 8,333/unit
Semakin banyak unit product yang dihasilkan
dalam kurun waktu yang sama, semakin rendah fixed cost yang dibebankan ke dalam
tiap unit product. Itu sebabnya mengapa manager yang handal akan selalu
berusaha membuat office staff (yang menimbulkan fixed cost) selalu bekerja dalam
kapasitas penuh, tidak pernah menganggur atau bekerja dalam kapasitas rendah.
Yang tergolong fixed cost, dalam
perusahaan, tidak hanya gaji pegawai tetap. Semua yang
tergolong “biaya operasional” dalam Laporan Laba Rugi tergolong fixed
cost. (silahkan baca kembali perilaku biaya bagian kedua yang sudah
dibahas sebelumnya).
Sehingga sekilas nampak bahwa, tugas para
manager dalam pengelolaan cost adalah membuat
segala hal yang menimbulkan fixed cost bekerja dengan speed tinggi, shingga
fixed cost menjadi rendah.
Dilemanya, speed meningkat akan
mengakibatkan kualitas menurun. Meskipun proses yang
memakan waktu lebih lama BELUM JAMINAN akan menghasilkan product yang
berkualitas lebih tinggi, namun dalam lingkungan (fasilitas dan teknologi) yang
sama, product berkualitas lebih tinggi sudah pasti mengkonsumsi waktu yang
lebih panjang.
Ketika speed digenjot, kualitas akan menurun.
Menurunnya kualitas memicu cost tersendiri yang disebut dengan “cost of
quality”, yaitu cost yang harus ditanggung oleh perusahaan akibat
menurunnya kualitas.
Beberapa contoh cost yang timbul akibat
kualitas menurun, antara lain:
- Biaya-biaya yang tumbul akibat aktivitas merevisi suatu proses
pekerjaan
- Ongkos kirim akibat barang kembali (return)
- Peningkatan biaya gudang karena harus menampung tumpukan barang
kembali
- Discount yang terpaksa diberikan kepada pelanggan akibat kualitas
barang rendah
- Membuat ulang sample karena tidak sesuai spesifikasi
- Menurunnya loyalitas pelanggan akibat kualitas menurun
- Dan lain sebagainya.
Sehingga fungsi para manager, seharusnya,
tidak sekedar menggenjot speed, melainkan mencari titik trade-off yang paling
optimum antara:
- Beroperasi dengan HIGH-SPEED (fixed cost rendah) tetapi dengan
risiko kualitas menurun (cost of quality tinggi); dengan
- Beroperasi dengan LOW-SPEED (fixed cost tinggi) tetapi dengan
peluang kualitas meningkat (cost of quality rendah).
Konkretnya:
A. High-speed test:
- Hitung quality cost
- Hitung penghematan fixed cost
- Bandingkan, apakah surplus atau defisit?
B. Low-speed test:
- Hitung pemborosan fixed cost
- Hitung penghematan quality cost
- Bandingkan, apakah surplus atau defisit?
Terakhir, bandingkan antara A & B, mana
yang surplusnya lebih tinggi atau defisitnya lebih rendah?
Alternative:
Medium speed at an affordable quality cost.
Alih Daya (Outsourcing)
Jika saya tidak keliru, 2012 kasus alih daya
(outsourcing) mencuat ke permukaan, dimana para pegawai berstatus outsource
menginginkan agar status mereka ditingkatkan menjadi pegawai tetap perusahaan.
Dengan kata lain, para pekerja menghendaki system outsourcing dihapuskan.
Yang ingin saya bahas sedikit di sini: apa
hakekat outsourcing dan mengapa perusahaan memilih meng-outsource-kan
pekerjaannya.
Hakekat dari alih daya (outsourcing) adalah: memindahkan sebagian risiko fixed cost—terkait dengan biaya tenaga
kerja—ke pihak lain, yaitu: penyedia jasa outsourcing.
Jenis pekerjaan yang di-outsource-kan bisa
jadi pekerjaan yang memicu fixed cost (satpam misalnya) dan pekerjaan yang
memicu variable cost (buruh pabrik misalnya).
Pertanyaannya: Mengapa perusahaan
memilih meng-outsource-kan pekerjaan-pekerjaan tersebut, bukankah perusahaan
tetap harus membayar gaji/upah yang jumlahnya sama?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu tahu
terlabih dahulu “biaya ketenagarakerjaan” (staffing) secara umum. Dari sana
kita akan bisa melihat, bagian mana yang bisa dihemat oleh perusahaan dengan
melakukan outsourcing. Tidak perlu belajar tentang manajemen sumberdaya manusia
(SDM), cukup melihat aspek cost yang timbul dari aktivitas pengelolaan tenaga
kerja, dimana kita sebagai orang akuntansi perlu tahu.
Berikut adalah cost yang timbul dari
pengelolaan tenaga kerja, secara umum (dan cost
yang bisa dihemat dengan cara outsourcing):
- Acquiring/Recruitment Costs –
Untuk memeproleh tenaga kerja (pegawai tetap atau tak tetap) perusahaan
perlu pasang iklan, interview, orientasi dan penempatan. Semua aktivitas
ini memicu timbulnya fixed cost. Semua cost ini bisa dihilangkan dengan
outsourcing.
- Carrying/Employment Costs –
Setelah dipekerjakan, pegawai (tetap atau tak tetap) menimbulkan biaya
gaji/upah yang harus direview dan dinaikan secara berkala atau sesuai
kinerja. Biaya gaji/upah tidak bisa dihemat dengan cara outsoutcing,
tetapi review dan kenaikan gaji bisa dihilangkan dengan outsourcing.
Disamping Gaji dan upah, perusahaan juga diharuskan (oleh undang-undang
ketenaga kerjaan) untuk menyediakan: THR, bonus, libur tanggal merah/hari
raya dibayar, cuti tahunan dibayar, cuti hamil dibayar. Semua cost ini
bisa dihilangkan dengan outsourcing.
- Disposal/Severance Cost – Ada
masanya dimana perusahaan perlu mengurangi tenaga kerja entah karena
kemerosotan perusahaan atau karena perubahan orientasi. Dan aktivitas ini
memicu cost: pesangon, uang jasa, dan lain-lainnya. Semua cost ini bisa
dihilangkan dengan outsourcing.
Dalam skala kecil pengematan yang ditimbulkan
mungkin juga kecil, sehingga tidak beneficial untuk dilakukan. Namun dalam
sekala besar (dengan tenaga kerja ribuan), bisa menghasilkan penghematan fixed
cost yang signifikan. (bisnisan.id)
Posting Komentar untuk "Mengambil Keputusan Strategis Dengan Pola Perilaku Biaya"